PENDIDIKAN HANYA BERPIHAK PADA KELAS MINORITAS


PENDIDIKAN HANYA BERPIHAK PADA KELAS MINORITAS

Berkenaan dengan politik etis, Snouck Hurgronje, seorang Belanda yang amat kolonialistik
mengatakan, pendidikan akan membuat orang turut serta dalam kehidupan orang yang mendidik. Karena itu, pendidikan itu perlu. Hanya saja dibatasi hanya pada kelas minoritas (punya akses terhadap pendidikan), karena hanya ingin memperkecil jarak antara mereka dengan kita yang berkuasa. Malah dalam semangat, kata Hurgronje, mereka tidak akan mengikatkan diri dengan massa. Karena itu, kita harus mempersatukan diri kita dengan orang-orang Indonesia dari kelas minoritas. Makna substansial dari paparan itu tergambar jelas dalam ideologi Le desir d'etre esemble yang dianyam dalam bungkusan politik etis dan secara sadar dijalankan kolonial Belanda.


Pendidikan itu diciptakan untuk membuat anak didik melekat pada struktur atau sistem yang ada bukan untuk mengubah atau memperbaiki struktur itu. Sayangnya ajakan "keberhasilan" ini hanya sampai pada orang2 yg bisa membeli akses terhadap pendidikan itupun hanya akan dijadikan pekerja. Pikiran Hurgronje itu pada dasarnya adalah pikiran yang anti-pendidikan, karena sebetulnya Belanda telah menumbuhkan penjara, yakni penjara untuk menjadi pelayan politik kolonial Belanda yang repressive dan ingin tetap pada status quo. Hal ini didasarkan pada, pertama, yang mengenyam pendidikan terbatas pada kelas minoritas yang secara lahiriah bersifat repressive dan diskriminatif terhadap mereka yang berasal dari lapisan mayoritas. Kedua, karena mata pelajaran yang diberikan adalah yang pada dasarnya diciptakan untuk menjadi pelayan pemerintah kolonial Belanda . Mengacu paparan itu, kita mendapat hikmah, pendidikan di zaman Belanda pada dasarnya bersifat repressive dan diskriminatif. Fakta historis ini amat membekas dalam pendidikan di Indonesia hingga saat ini. "Bila kita mencermati kurikulum yang berlaku, misalnya pada pendidikan tinggi, sukar bagi kita untuk menghindar bahwa kita sedang dipaksa berpihak menjadi bagian dari kelas minoritas yang cinta pada status quo. Sebagai contoh kita dapat menyimak kurikulum Fakultas Hukum. Kurikulumnya berpihak kepada pemilik modal dan diarahkan untuk melindungi sistem perekonomian. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), misalnya, lebih berurusan dengan perlindungan terhadap pedagang. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) cenderung membela perusahaan multinasional. Aspek-aspek yang mengenai hak asasi manusia yang dekat dengan kelas minoritas hampir tidak pernah tersentuh. Pendidikan kita tidak liberal, tetapi justru suatu pendidikan yang anti liberal.

Pendidikan kita cenderung berpihak memperkuat sistem yang ada yang notabene tidak memihak mayoritas rakyat miskin. Kenyataan seperti inilah yang membuat Ivan Illick dan Paulo Freire mengkritik tajam dunia pendidikan di negara berkembang yang menurut dia tidak membawa perubahan apa-apa. Kritik Ivan Illick dan Paulo Freire adalah kritik terhadap kita semua, bahwa kita harus mempertanyakan kembali pendidikan itu untuk apa? Suatu sikap tegas dengan berpihak yang pasti adalah mutlak. Pendidikan bukan hanya fungsional membuka mata kita akan kemiskinan dan ketidakadilan, tetapi justru harus mampu mengurangi kemiskinan dan memperkecil ketidak adilan. Jika kita menggunakan pendidikan sebagai paspor untuk melekatkan diri pada kelas minoritas, maka secara sadar kita sedang melestarikan adanya jurang ketidakadilan antara kelas minoritas dengan kelas  mayoritas
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Zhend Guevara - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger