Manusia merupakan makhluk yang bergelut secara intens dengan
pendidikan. Itulah sebabnya manusia dijuluki sebagai animal educandum
dan animal educandus secara sekaligus, yaitu sebagai makhluk yang
dididik dan makhluk yang mendidik. Dengan kata lain, manusia adalah
makhluk yang senantiasa terlibat dalam preses pendidikan, baik yang
dilakukan terhadap orang lain maupun terhadap didinya sendiri
Pada dasarnya pendidikan adalah laksana eksperimen yang tidak akan
pernah selesai sampai kapan pun, sepanjang ada kehidupan manusia di
dunia ini. Dikatakan demikian, karena pendidikan merupakan bagian dari
kebudayaan dan peradaban manusia yang terus berkembang. Hal ini sejalan
dengan pembawaan manusia yang memiliki potensi kreatif dan inovatif
dalam segala bidang kehidupan (Hasbullah, 2008: ix). Dimana pendidikan
adalah merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala
lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus, pendidikan adalah usaha
sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di
dalam dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta
didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup
secara tepat di masa yang akan datang (Mudyaharjo, 2012: 3-11).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
system Pendidikan Nasional disebutkan: “Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat dan bangsa” (Rohman, 2009: 10).
Sedangkan tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk manusia
Indonesia seutuhnya yang Pancasilais yang dimotori oleh pengembangan
afeksi, seperti sikap suka belajar, tahu cara belajar, rasa percaya
diri, mencintai prestasi tinggi, punya etos kerja, kreatif dan
produktif, serta puas akan sukses yang akan dicapai (Pidarta, 2009:
viii).
Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka secara formal dimulai sejak
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya kepada dunia pada tanggal 17
Agustus 1945. Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka ini merupakan
kelanjutan dari cita-cita dan praktek-praktek pendidikan masa lampau
yang tersurat atau tersirat masih menjadi dasar penyelenggaraan
pendidikan ini (Mudyaharjo, 2012: 214). Dalam proses pertumbuhan menjadi
negara maju, Indonesia telah mengalami pelbagai perubahan, termasuk
bidang pendidikannya. Perubahan-perubahan itu merupakan hal yang wajar
karena perubahan selalu dipengaruhi oleh berbagai factor yang bisa
berganti selaras dengan perkembangan serta tuntutan zaman pada saat itu.
Tidaklah mengherankan apabila system pendidikan yang kita anut segera
setelah merdeka adlah sistem kontinental karena kontak kita pada saat
itu adlah dengan negara-negara Eropa, khususnya negeri Belanda.
Pengambilalihan sistem kontinental itu tentu kita lakukan dengan penuh
kesadaran bahwa sistem tersebut belum tentu cocok dan langgeng dengan
perkembangan pendidikan yang kita kehendaki. Setelah kita merdeka dan
menerapkan sistem pendidikan kontinental sekitar lima windu, kita dapati
bahwa pendidikan dengan sistem Eropa tidak cocok lagi dengan tuntutan
perkembangan zaman. Proses pendewasaan pun berlanjut, dan pengalaman
telah banyak mengajarkan kepada kita untuk memetik mana yang baik dan
mana yang buruk. Keadaan politik nasional dan internasional,
perekonomian dunia, hubungan antar bangsa, dan peran yang dimainkan
bangsa Indonesia pun bergeser dan berubah, yang sedikit banyak mendorong
kita untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Sejarah Pendidikan Dunia
Perjalanan sejarah pendidikan dunia telah lama berlangsung, mulai
dari zaman Hellenisme (150 SM-500), zaman pertengahan (500-1500), zaman
Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi
(1600-an). Namun pendidikan pada zaman ini belum memberikan
kontribusinya pada pendidikan zaman sekarang (Pidarta, 2009: 110). Oleh
karena itu, pendidikan pada zaman ini tidak dijabarkan dalam makalah
ini. Makalah ini membahas sejaran pendidikan dunia yang meliputi
zaman-zaman: (1) Realisme, (2) Rasionalisme, (3) Naturalisme, (4)
Developmentalisme, (5) Nasionalisme, (6) Liberalisme, Positivisme, dan
Individualisme, serta (7) Sosialisme.
Zaman Realisme
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh
penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia
dan bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan
pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide,
dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran yang praktis
(Pidarta, 2009: 111-14). Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar
diperoleh tidak hanya melalui penginderaan semata (Jocke), tetapi juga
melalui persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2012: 117).
Pendidikan pada zaman Realisme ini yang menjadi tokohnya adalah
Francis Bacon dan Johann Amos Comenius. Sedangkan prinsip-prinsip
pendidikan yang dikembangkan pada zaman ini meliputi:
Pendidikan lebih dihargai daripada pengajaran, Pendidikan harus menekankan aktivitas sendiri,
Penanaman pengertian lebih penting daripada hafalan, Pelajaran disesuaikan dengan perkembangan anak,
Pelajaran harus diberikan satu per satu, dari yang paling mudah,
Pengetahuan diperoleh dari metode berpikir induktif (mulai dari
menemukan fakta-fakta khusus kemudian dianalisa sehingga menimbulkan
simpulan) dan anak-anak harus belajar dari realita alam,
Pendidikan bersifat demokratis dan semua anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar (Pidarta, 2009: 111-114).
Zaman Rasionalisme
Aliran Rasionalisme ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk
berfikir sendiri dan bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat
diperlukan pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk dirinya. Paham ini
muncul karena masyarakat dengan kekuatan akalnya dapat menumbangkan
kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan absolut. Tokoh
pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke. Teorinya
yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti
menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang
dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri.
Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal
yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme
(Ibid: 115).
Zaman Naturalisme
Zaman Naturalisme adalah merupakan reaksi terhadap aliran
Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah aliran Naturalisme dengan
tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak
wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup yang
dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan
antara kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi gurr,
sehingga pendidikan dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam)
(ibid.: 115-116). Naturalisme menyatakn bahwa manusia didorong oleh
kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan jalan kebenaran di dalam dirinya
sendiri (Mudyaharjo, 2012: 116).
Zaman Developmentalisme
Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini
memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga
aliran ini sering disebut gerakan psikologis dalam pendidikan.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart,
Friedrich Wilhelm Frobel, dan Stanley Hall.Konsep pendidikan yang
dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
Mengaktualisasi semua potensi anakyang masih laten, membentuk watak
susila dan kepribadian yang harmonis, serta meningkatkan derajat social
manusia.
Pengembangan ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat
perkembangan anak (Pidarta, 2009: 116-20) yang melalui observasi dan
eksperimen (Mudyahardjo, 2012: 114).
Pendidikan adalah pengembangan pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang baik (nurture).
Pengembangan pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan universal (Mudyaharjo, 2012: 114).
Zaman Nasionalisme
Zaman Nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk
patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis.
Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan
Jefferson (Amerika Serikat).Konsep pendidikan yang ingin diusung oleh
aliran ini adalah:
Menjaga, memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
Mengutamakan pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
Materi pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional,
pendidikan kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi
Negara, dan pendidikan jasmani.
Akibat negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme, yaitu
kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di
beberapa Negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya
Perang Dunia I (Pidarta, 2009: 120-21).
Zaman Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme
Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa
pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan
yang dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang
banyak berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada
individualisme. Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat
diamati oleh panca indera sehingga kepercayaan terhadap agama semakin
melemah. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte (ibid.: 121).
Zaman Sosialisme
Aliran Sosialisme ini dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai
reaksi terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme.
Tokoh-tokohnya adalah Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John
Dewey.Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti yang lebih penting
daripada individu. Ibarat atom, individu tidak ada artinya bila tidak
berwujud benda. Oleh karena itu, pendidikan harus diabdikan untuk
tujuan-tujuan sosial (ibid.: 121-124).
B. SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang.
Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno / tradisional yang dimulai
dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman
penjajahan, dan zaman merdeka (Pidarta, 2009.: 125). Mudyahardjo (2012)
dan Nasution (2011) menguraikan masing-masing zaman tersebut secara
lebih terperinci akan diuraikan mulai dari perjalanan sejarah pendidikan
Indonesia:
Zaman Pengaruh Hindu dan Budha
Pengaruh pendidikan pada zaman Hinduisme and Budhisme datang ke
Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama
yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Siva dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu yaitu Sang Maha Tunggal yaitu Tuhan ,
secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardjo, 2012:
215). Pada zaman ini pendidikan memiliki tujuan yang sama yaitu
pendidikan diarahkan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan
keberagamaan Hindu dan Budha (Mudyahardjo, 217).
Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)
Agama Islam mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan
mencakup sebagian besar Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan
pendidikan agama Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan
penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus
kebudayaan (Mudyahardjo.: 221). Pendidikan agama Islam pada zaman ini
disebut Pendidikan Islam Tradisional. Tujuan dari pendidikan agama Islam
adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada
Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad
S.A.W. Untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. (Mudyahardjo.:
121-223) Pendidikan agama Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan
secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para
ulamanya di suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di
Jawa, terutama Wali Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan
Islam yang dilakukan oleh perseorangan yang menonjol adalah di daerah
Minangkabau (ibid.: 228-241).
Zaman Pengaruh Nasrani (Khatolik dan Kristen)
Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan
dan perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia
Timur serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang
menjadi mata rantai perdagaan dan perniagaan (Mudyahardjo, 2012: 242).
Di samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold), bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel).
Pada akhirnya pedagang Portugis menetap di bagian timur
Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis
melemah akibat peperangan dengan raja-raja di Indonesia dan akhirnya
dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605 (Nasution, 2011: 4-5). Dalam
setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi misionaris
Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis
dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Orde ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki tujuan
yaitu segala sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan
(Mudyahardjo, 2012: 243). Yang dicapai dengan tiga cara: memberi
khotbah, memberi pelajaran, dan pengakuan. Orde ini juga mempunyai
organisasi pendidikan yang seragam: sama di mana pun dan bebas untuk
semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk
penyebaran agama (Nasution, 2012: 4-5).
Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang
datang pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman
dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan
di antara mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang
disebut VOC (vreenigds Oost Indische Compagnie) atau
Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602 (Mudyahardjo, 2012: 245).
Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya
Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya
sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan
pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur
Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat
administrasi colonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik
dengan menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme (Nasution, 2012:
4-5).
Zaman Kolonial Belanda
Pada zaman VOC pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan
dijadikan benteng oleh Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk
menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih
dari pusat komersial menjadi basis politik dan territorial. Setelah
pecah perang kolonial di berbagai daerah di tanakh air, akhirnya
Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda (Nasution,
2011.: 3). Pada tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh
para Komisaris Jendral dari Inggris. Mereka harus memulai system
pendidikandari dasar kembali, karena pendidikan pada zaman VOC berakhir
dengan kegagalan total. Ide-ide liberal aliran Ufklarung atau Enlightement, yang mana mengatakan bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social, banyak mempengaruhi mereka (ibid.: 8).
Oleh karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal
dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan
kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya
kurikulum ini hanya diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah
abad ke-19. Setelah tahun 1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang
menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang
lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan
di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih
menguntungkan rakyat Indonesia (ibid.: 10-13).
Pada tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids. Ia menganjurkan agar pemerintahnnya lebih memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ekspresi ini kemudian dikenal dengan Politik Etis dan
bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui irigasi,
transmigrasi, reformasi, pendewasaan, perwakilan yang mana semua ini
memerlukan peranan penting pendidikan (ibid.: 16). Di samping itu, Van
Deventer juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda. Menurutnya,
mereka yang menguasai Belanda secara kultural lebih maju dan dapat
menjadi pelopor bagi yang lainnya (ibid.: 17).
Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat
dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang
berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa
golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yanorang tuanya adalah
pegawai pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite intelektual baru.
Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui
pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi
perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan
semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928. Setelah itu
tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya,
Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan
dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar
bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2009: 125-33).
Zaman Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Kolonial Jepang
tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa
Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia
tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati
mereka. Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan
Jepang di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus
dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan
pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa
Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di
lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan
sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi
Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa
Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
kepada dunia (Mudyahardjo, 2012:266-272).
Pendidikan Masa Perjuangan Bangsa
1) Zaman Kemerdekaan (Awal)
Setelah bangsa Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak
berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang
ingin kembali menguasai Indonesia dating silih berganti sehingga bidang
pendidikan pada saai itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi
bangsa Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah
diraih dengan perjuangan yang amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang
mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah
dipersatukan oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam
pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan yang diharapka bahkan banyak
pendidikan di daerah-daerah tidak dapat dilaksanakan karena faktor
keamanan para pelajarnya. Di samping itu, banyak pelajar yang ikut serta
berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.
2) Zaman ’Orde Lama’
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi
kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di
berbagai bidang, baik spiritual maupun material. Setelah diadakan
konsolidasi yang intensif, system pendidikan Indonesia terdiri atas:
Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Dan
pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi warga negara yang
bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial, sekolah harus
terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara.
Di samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah
pendidikan yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat
menyelesaikan revolusinya baik di dalam maupun di luar; pendidikan yang
secara spiritual membina bangsa yang ber-Pancasila dan melaksanakan UUD
1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia,
dan merealisasikan ketiga kerangka tujuan Revolusi Indonesia sesuai
dengan Manipol yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menyelenggarakan masyarakat
Sosialis Indonesia yang adil dan makmur, lahir-batin, melenyapkan
kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa penjajahan, penindasan dan
penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan nasional yang sejati dan
abadi (Mudyahardjo, 2012: 400- 403).
D) Pendidikan Masa Perjuangan
Pendidikan Zaman Orde Baru
Zaman Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan
ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Haluan penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan
menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari sekolah dasar
sampai dengan perguruan tinggi. Menurut Orde Baru, pendidikan adalah
usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam
sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup dan
dilaksanakan di dalam lingkungan rumahtangga, sekolah dan
masyarakat(Mudyahardjo: 421-433).
Pendidikan pada masa memungkinkan adanya penghayatan dan pengamalam
Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak hanya di dalam sekolah
sebagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan (ibid.: 434). Di
samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang
pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi
operasional dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan
pasar (Pidarta, 2009: 137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan
untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya
adalah sentralisasi dengan berpusat pada pemerintah pusat. Namun
demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa
kesenjangan.
Buchori (dalam Pidarta, 2008: 138-39) mengemukakan beberapa
kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan
dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di
sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan
kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan
humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan
(4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki
dengan wawasan dunia terkini). Namun demikian keberhasilan pembangunan
yang menonjol pada zaman ini adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan
meningkat dengan pesat, (2) persatuan dan kesatuan bangsa tetap
terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat (Pidarta, 2009:
141).
E) Pendidikan Zaman Reformasi
Selama zaman Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat
leluasa melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada yang berani
melakukan pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor
politik yang sangat kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai
terbesar saat itu. Hampir tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk
melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara dan menyaampaikan
pendapatnya (Pidarta, 2009.: 143).
Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas
bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah
membelenggunya selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya
lebih banyak bersifat mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.
Sementara itu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk, pengangguran
bertambah banyak, demikian juga halnya dengan penduduk miskin. Korupsi
semakin hebat dan semakin sulit diberantas. Namun demikian, dalam bidang
pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya Undang-Undang
Pendidikan yang baru dan mengubah system pendidikan sentralisasi menjadi
desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan
perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas
profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi
pendidikan juga diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality Management).
Dari rangkaian masa dalam sejarah yang menjadi landasan sejarah
kependidikan di Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa masa-masa
tersebut memiliki wawasan yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lain.
Mereka sama-sama menginginkan pendidikan bertujuan mengembangkan
individu peserta didik, dalam arti memberi kesempatan kepada mereka
untuk mengembangkan potensi mereka secara alami dan seperti ada adanya,
tidak perlu diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sementara
itu, pendidikan pada dasarnya hanya memberi bantuan dan layanan dengan
menyiapkan segala sesuatunya. Sejarah juga menunjukkan betapa sulitnya
perjuangan mengisi kemerdekaan dibandingkan dengan perjuangan mengusir
penjajah.
Dengan demikian mereka berharap hasil pendidikan dapat berupa
ilmuwan, innovator, orang yang peduli dengan lingkungan serta mampu
memperbaikinya, dan meningkatkan peradaban manusia. Hal ini dikarenakan
pendidikan selalu dinamis mencari yang baru, memperbaiki dan memajukan
diri, agar tidak ketinggalan jaman, dan selalu berusaha menyongsong
zaman yang akan datang atau untuk dapat hidup dan bekerja senafas dengan
semangat perubahan zaman.
Penddidikan dimasa lampau telah mewariskan kita suatu peradaban yang
memiliki nilai-nilai luhur yang dapat dipertahankan, diajarkan dan
digunakan oleh generasi penerus dalam kehidupan mereka di masa sekarang.
Dengan mewariskan dan menggunakan karya dan pengalaman masa lampau,
pendidikan menjadi pengawal, perantara, dan pemelihara peradaban. Dengan
demikian, pendidikan memungkinkan peradaban masa lampau diakui
eksistensinya dan bukan merupakan “harta karun” yang tersia-siakan.
Posting Komentar